Pemilu Pada Masa Orde Lama
Pemilu pertama di
Indonesia dilaksanakan pad tahun 1955. Pemilu tahun 1955 dilakukan untuk
memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu yang disebut dengan pemilu
1955 ini dilaksanakan pada saat pemerintahan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo.
Pelaksanaan pemilu
pada tahun 1955 terbagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama adalah pemilu untuk
memilih anggota DPR. Pemilu untuk memilih anggota DPR dilaksanakan tanggal 29
September 1955. Tahap kedua adalah pemilu untuk memilih anggota Konstituante.
Pemilu untuk memilih anggota konstituante dilaksanakan pada tanggal 15 Desember
1955. Pemilu tahun 1955 diikuti oleh 29 partai politik dan perseorangan. Dalam
pemilu tahun 1955 tersebut terdapat empat partai besar yang muncul, yaitu Partai
Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia.
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu satu-satunya yang diadakan ketika zaman orde
lama.
1.
Fungsi Pemilu
Saat itu,
kita sudah memiliki UUD 1945 sebagai konstitusi negara, pancasila sebagai dasar
negara, indonesia raya sebagai lagu kebangsaan, bahasa indonesia sebagai bahasa
persatuan, bendera merah putih sebagai bendera nasional, dan presiden-wakil
presiden soekarno-hatta. Perangkat ini kemudian dilengkapi pula dengan adanya
komite nasional indonesia pusat (KNIP) pada tanggal 29 Agustus 1945.
Semula
fungsi KNIP adalah sebagai pembantu presiden, selanjutnya kemudian beralih
menjadi DPR/MPR. Perjalanan berikutnya, pemerintah mengeluarkan peraturan
tentang pembentukan partai politik. Sebagai realisasinya, pada November 1945
kabinet presidensial yang dipimpin presiden diganti oleh kabinet parlementer
yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Sultan syahrir diangkat sebagai
perdana menteri dalam kabinet parlementer ini.
Dengan
demikian, kabinet presidensial berlaku dari Agustus-November 1945, sedangkan
kabinet parlementer dari November 1945-Desember 1948. Pascaagresi militer
Belanda II (19 Desember 1945), negara indonesia terpecah belah dan mudah diadu
domba dengan dibentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
menerapkan sistem politik demokrasi liberal. Kedaulatan rakyat diserahkan
kepada sistem multipartai sehingga
muncul banyak partai di masyarakat. Akibatnya, suara rakyat terpecah-pecah
ke dalam banyak partai dengan efek negatif adalah adanya sikap politik yang
saling menjatuhkan antara partai satu dengan partai yang lainnya. Hal demikian
sangatlah mungkin, mengingat pada masa itu tidak satu pun partai besar yang
memiliki suara lebih dari 50% sehingga umur kabinet di masa demokrasi liberal
tidak berusia panjang.
Peristiwa
jatuh bangunnya kabinet dapat dilihat dalam data berikut ini:
a. Kabinet
Natsir (6 September 1950-27 April 1951)
b. Merupakan
kabinet pertama yang memerintah pada masa demokrasi liberal. Natsir berasal
dari Masyumi.
c. Kabinet
Soekiman-Soewiryo (27 April 1951-3 April 1952)
d. Kabinet ini
dipimpin oleh Soekiman-Soewiryo dan
merupakan kabinet koalisi Masyumi-PNI
e. Kabinet
Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
f. Kabinet ini
merintis sistem zaken kabinet, bahwa kabinet yang dibentuk terdiri dari para
ahli dibidangnya masing-masing
g. Kabinet Ali
Sastrowijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955)
h. Merupakan
kabinet terakhir sebelum pemilihan umum, kabinet ini didukung oleh PNI-NU
sedangkan Masyumi menjadi oposisi
i.
Kabinet Burhanudin Harahap dari Masyumi (12 Agustus
1955-3 Maret 1959)
j.
Kabinet Ali II (20 Maret 1955-14 Maret 1957), kabinet
koalisi PNI, Masyumi, dan NU
k. Kabinet
Juanda (9 April 1957) merupakan zaken kabinet
Pada masa kabinet Ali
Sastroamijoyo telah dipersiapkan pelaksanaan pemilu II pada 29 September
1955. Namun, justru kabinet tersebut menyerahkan mandatnya kepada presiden
kemudian dilanjutkan oleh kabinet Burhanudin Harahap. Pada masa kabinet
inilah pemilu 1955 terlaksana, yang dinilai banyak kalangan sebagai satu
pelaksanaan pemilu Indonesia yang bersih.
Jatuh bangunnya kabinet di era ini
terus berlanjut hingga tahun 1959. Terjadi kekacauan dikalangan konstituante
yang tiada berakhir mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959.
2.
Tujuan pemilu
3.
Sistem pemilu
4.
Undang-undang pemilu
5.
Undang-undang tentang parpol
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN
PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2011
PENYELENGARA PEMILIHAN UMUM
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG
PARTAI POLITIK
UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2009
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR
1 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH MENJADI UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008
Oleh sebab itu, dalam ilmu politik secara teoritis dikenal
cara atau sistem memilih wakil rakyat agar mewakilki rakyat yang memilihnya.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas tyerdapat 3 (tiga) sistem pemilihan umum,
yaitu :
a.
Sistem Distrik
Sistem distrik merupakan sistem
pemilu yang paling tua dan didasarkan kepada kesatuan geografis, dimana
kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen.Sistem distrik sering
dipakai dalam negara yang mempunyai sistem dwi partai, seperti Inggris serta
bekas jajahannya (India dan Malaysia) dan Amerika. Namu, sistem distrik juga
dapat dilaksanakan pada satu negara yang menganut sistem multipartai, seperti
di Malaysia. Di sini sistem distrik secara alamiah mendorong partai-partai
untuk berkoalisi, mulai dari menghadapi pemilu.
Sistem
distrik mempunyai beberapa keuntungan, yaitu :
1.
Karena kecilnya distrik,
maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik itu, hubungannya
dengan penduduk distrik lebih erat. Wakil tersebut lebih condong untuk
memperjuangkan kepentingan distrik. Wakil tersebut lebih independen terhadap
partainya karena rakyat lebih memberikan pertimbangan untuk memilih wakil
tersebut karena faktor integritas pribadi sang wakil. Namun demikian, wakil
tersebut juga terikat dengan partainya, seperti untuk kampanye dan lain-lain.
2.
Sistem ini lebih cenderung ke
arah koalisi partai-partai karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah,
distrik hanya satu. Sehingga mendorong partai menonjolkan kerja sama ketimbang
perbedaan, setidak-tidaknya menjelang pemilu, melalui stembus record.
3.
Fragmentasi partai atau
kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat terbendung, malah dapat
melakukan penyederhanaan partai secara alamiah tanpa paksa. Di Inggris dan
Amerika Serikat sistem ini menunjang bertahannya sistem dwipartai.
4.
Lebih mudah bagi suatu
partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, tidak perlu diadakan
koalisi partai lain, sehingga mendukung stabilitas nasional.
5.
Sistem ini sederhana dan
serta mudah untuk dilaksanakan.
Di samping keuntungan, sistem
distrik juga memiliki beberapa kelemahan yaitu :
1.
Kurangnya memperhatikan
adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apabila golongan tersebut
terpencar dalam beberapa distrik.
2.
Kurang representatif,
dimana partai yang kalah dalam suatu distrik kehilangan suatu yang telah
mendukungnya. Dengan demikian, suara tersebut tidak diperhitungkan lagi.
Kalau sejumblah partai ikut dalam setiap distrik akan banyak jumlah suara
yang hilang, sehingga dianggap kurang adil oleh partai atau golongan yang
dirugikan.
3.
Ada kecenderungan si wakil
lebih mementingkan kepentingan daerah pemilihannya daripada kepentingan
nasional.
4.
Umumnya kurang efektif bagi
suatu masyarakat heterogen.
b.
Sistem Proporsional
Sistem perwakilan proposional adalah
presentasi kursi DPR dibagi kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan
jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilihan umum, khusus didaerah
pemilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar